Thursday 1 January 2009

BAGAIMANA IDEALNYA KONSEP TATAP ?

Saya rasa Pengurus ISFI pusat sudah punya konsep bagaimana bentuk kongkret TATAP.
Jangan hanya dibuat wacana konsep harus sudah dibuat tinggal di dalam Rakernas di Surabaya di sahkan ...
Saya yakin Pejabat ISFI pasti tahu dan pasti sedikit banyak pernah melihat bagaimana pelayanan apotek/Pharmacy di negara lain seluruh dunia ...
tinggal bagaimana kita mengadopnya ...
Apakah kita menganut konsep saat apotek buka ada apoteker ? berarti satu apotek minimal harus ada 2 - 3 Apoteker ...
Atau kita menganut beberapa negara yang lebih extrem lagi semua pekerja di apotek adalah apoteker... dan seluruh kegiatan pelayanan apotek baik administrasi dan pelayanan dikerjakan sendiri oleh apoteker. Dan mereka mempunyai wewenang penuh memberikan obat tidak harus dengan resep dokter bahkan untuk obat keras sejenis OKT pun.
apakah narkotik juga harus dengan resep dokter ? mungkin pertanyaan anda seperti itu ...

Berarti di apotek minimal harus ada 2 apoteker (untuk apotek kecil) bahkan bisa 6 apoteker bahkan lebih untuk apotek yang ramai dan cukup besar ...
mana yang perlu diperdebatkan ?

Banyak kasus di Indonesia keberadaan apoteker dipertanyakan oleh profesi lain dan kita bingung mencari pembenaran dan pembelaan mati-matian. apa masih tetap seperti itu dan celakanya kita juga masih seperti itu ...

(bersambung)

3 comments:

hisfarma said...

Sambungannya ku tunggu

CERMIN DUNIA FARMASI said...

Progam TATAP yang tidak jelas menatap

Program TATAP yang sudah digulirkan oleh induk organisasi Farmasi (ISFI) sejak dicanangkan tahun 2005 yang lalu, disambut dengan antusias oleh segenap apoteker yang ingin merasakan kredibilitas Apoteker lebih bermartabat dan disegani oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Para apoteker yang sejak dulu telah melaksanakan khitahnya di jalan yang benar , tentu tidak ingin menjadi objek pandangan sinis masyarakat ,yang disebabkan oleh ulah para apoteker lain yang masih belum mau kembali ke pencitraan yang benar. Masih banyak apoteker di luar sana yang belum menjalankan profesinya secara murni dan benar di apotek, padahal , pada hari dia dinobatkan sebagai abdi masyarakat, para apoteker tersebut sudah mengikrarkan lafal-lafal sumpah setia untuk tidak mengecewakan masyarakat yang akan menjadi pasangan hidupnya. Namun sumpah setia dan lafah-lafal indah itu akhirnya menjadi janji-janji kosong belaka, manakal nilai-nilai lembaran rupiah sudah menggerogoti nadi kehidupannya, manakala objekan lain memberikan nilai tambah pada pundi-pundi keuangannya, manakala apotek yang seharusnya dia asuh , hanya memberikan nilai material sebagai tambahan kocek di sakunya. Namun segelintir apoteker yang masih terseok-seok di jalan profesinya yang benar, masih tertatih-tatih menahan ketidakpercayaan masyarakat yang mengerdilkan harkat dan martabatnya. Ketidakpercayaan masyarakat yang melecehkan profesi apoteker sudah tidak pandang bulu lagi sehingga segelintir apoteker yang tidak ikut berbuat, merasakan akibatnya. Kalau kondisi ini terus dibiarkan ,maka keterpurukan apoteker semakin jauh kedalam lumpur kenistaan.
Siapakah yang peduli dan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada apoteker? Apakah pemerintah dapat diharapkan?, Apakah kesadaran dan hati nurani para apoteker yang belum sadar itu, bisa kembali kejalan yang benar dengan ihklas? Atau semuanya terpulang kepada masing-masing pribadi apoteker? Apakah kita dapat berharap banyak kepada organisasi ISFI untuk memperjuangkan hak-hak segelintir apoteker yang selama ini tertindas oleh ulah para oknum apotreker lainnya yang sudah lupa akan tanggung jawabnya?
Jauh sebelum program TATAP diikrarkan oleh ISFI tahun 2005, sudah ada peraturan pemerintah yang berkekuatan hukum untuk mengatur kinerja Apoteker di Apotek . Kalau kita merujuk ke Permenkes No. 922\MENKES\PER\X\1993 pasal 19, berbunyi ;
1) Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, APA dapat menunjuk Apoteker Pendamping. 2) Apabila APA dan Apt Pendamping berhalangan melakukan tugasnya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti. Jelas tidak ada alasan bagi apoteker untuk meninggalkan tugas pokoknya di apotek, apapun alasannya.
Kalau kita merujuk lagi pada Undang-undang kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 50, pasal 54 dan pasal 63, maka tidak ada alasan bagi apoteker untuk mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada Asisten jika apoteker berhalangan hadir pada jam buka Apotek.
Tetapi entah kenapa , peratuan dan ketentuan yang berlaku tersebut tidak dapat dilaksanakan dan diterapkan kepada apotek-apotek yang melanggarnya. Ketidak hadiran apoteker di apotek pada jam buka masih tetap tinggi . Di propinsi DKI saja , yang menjadi barometer pelaksanaan peraturan tersebut, justru memperlihatkan hasil yang sangat mengecewakan, 95% apoteker tidak hadir pada jam buka apotek (menurut hasil survey mahasiswa UI lihat disini..). Jadi perlu dipertanyakan , sejauhmana kontrol pemerintah terhadap kenerja apoteker di apotek ?, kenapa pemerintah (dalam hal ini Dinas Kesehatan Propinsi atau BPOM setempat) tidak mampu memberikan tindakan yang semestinya kepada apotek-apotek yang melanggar ketentuan tersebut ?, apakah aparat yang berwenang tidak mengetahui atau seakan tidak peduli dengan kondisi tersebut? Apakah aparat tersebut juga merangkap sebagai apoteker di apotek yang dia kelola, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan dengan efektif?.
Tentu perlu pula dipertanyakan, kenapa para apoteker jarang hadir pada jam buka apotek? Tentu banyak alasannya, antara lain adalah ;
- Salary apoteker di apotek tersebut terlalu kecil sehingga tidak mampu menopang kebutuhan hidup yang layak.
- Tugas-tugas pokok di apotek merupakan rutinitas yang ringan jadi dapat di laksanakan oleh Asisten .
- Apoteker mempunyai tugas pokok di instansi lain yang tidak bisa ditinggalkan , sehingga apoteker bekerja paroh-waktu di apotek .
- PSA (pemilik sarana apotek) tidak sanggup mengeluarkan biaya tambahan untuk mebayar apoteker pendamping, sehingga ketidakhadiran apoteker tidak terelakkan.
- Asisten yang berpengalaman sudah dianggap mampu menggantikan semua tugas-tugas apoteker di apotek.
Apoteker berdalih bahwa, peralihan PP Nomor 26 Tahun 1965 kepada PP Nomor 25 Tahun 1980 tentang peralihan pengelolaan apotek dari badan usaha ke sarjana farmasi, tidak diimbangi dengan kaidah-kaidah lain yang dibutuhkan apoteker, seperti dengan pemberian reward yang memadai. Alasan tersebut tentu dianggap sangat kuat bagi apoteker tersebut untuk meninggalkan pos nya di Apotek, bahkan alasan ini dijadikan jurus ampuh agar penegak hukum di DEPKES lebih toleran terhadap para apoteker yang melanggar tersebut. Sebenarnya apoteker sudah melanggar hukum, tetapi hukum tersebut terpaksa dilanggar.
Hal ini bisa juga disebabkan oleh apoteker yang berasal dari jajaran DEPKES atau BPOM banyak yang bekerja rangkap sebagai APA di wilayah kerjanya. Aparatur yang bekerja di jajaran DEPKES baik di Dinas Kesehatan maupun di BPOM di beri kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pemberian izin Apotik. Jadi bagaimana mungkin seorang aparatur pengawas yang berperan ganda , dapat bersikap adil dalam melaksanakan kewenangannya. Ibaratnya seorang wasit juga sebagai pemain. Reformasi hukum di jajaran DEPKES belum berjalan seperti yang berlaku dalam reformasi politik di Indonesia ( seperti ; ketentuan dimana PNS tidak bisa merangkap sebagai aktifis partai).
Dari sudut pandang sosiologis, ketidakpatuhan apoteker terhadap ketentuan pengelolaan apotek, merupakan kegagalan norma hukum di dalam perilaku penegak hukum dan masyarakat , sehingga hukum tidak dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Sepertinya pemerintah dinilai gagal melaksanakan amanat penegakkan hukum , khususnya dibidang pengawasan pengelolaan apotek.
Pada saat kongres ISFI tahun 2005, pemerintah dalam hal ini kepala BPOM (Dr.Sampurno, Apt.MBA) mengajak ISFI bekerja sama untuk melakukan pemurnian fungsi apoteker. Gayung bersambut, ketua terpilih ( Prof. DR Haryanto Dhanutirto, DEA, Apt) berdasarkan keputasan kongres , menetapkan TATAP(Tiada Apoteker Tiada Pelayanan), sebagai program unggulan yang sesegera mungkin untuk dilaksanakan (seperti dalam pidatonya saat pelantikan “Profesi Apoteker harus kita tegakkan kembali, karena itu ISFI harus bergerak cepat. Mulai tahun 2007 kita inginkan Apoteker wajib berada di Apotek sejak buka hingga tutup. Karena itu minimal harus ada dua orang Apoteker jika Apotek buka dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam. Dan tidak ada pengecualian bagi Apoteker Pegawai Negeri Sipil atau anggota ABRI." ).
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam program TATAP untuk mengembalikan fungsi apoteker di apotek karena sampai tahun 2008 ini, belum ada produk hukum yang dilahirkan ISFI yang mampu mewajibkan anggotanya hadir setiap saat di Apotek, kekuatan TATAP baru terlihat pada saat anggota mengurus surat rekomendasi , sebagai salah satu persyaratan dalam permohonan surat izin apotek (SIA).
Sampai saat ini program TATAP masih berupa gerakan moral atau shockterapi agar setiap anggota dapat melaksanakan profesinya di jalan yang benar.
Program TATAP yang mewajibkan apoteker minimal 2 orang di satu Apotek mendapat banyak tantangan terutama dari kalangan praktisan hukum , seperti PERDA di masing-masing daerah yang tidak sejalan dengan aturan main dalam progam TATAP. Kewajiban untuk menyiapkan 2 apoteker dalam pengurusan SIA bagi apotek baru, juga tidak jelas dasar hukumnya.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotek Rakyat yang telah diresmikan oleh mentri kesehatan pada tanggal 3 april 2007 yang lalu, sepertinya Program TATAP tidak sesuai dengan aturan main pemerintah. Buktinya , setiap 4 apotek rakyat dapat dikelola oleh satu apoteker , seperti yang terjadi DKI (pasar Pramuka). Sepertinya program TATAP dan program pemerintah berjalan sendiri-sendiri, tidak terlihat adanya koordinaasi yang sinergi. Perlu pula dipertanyakan , bagaimana sikap ISFI terhadap permenkes tersebut?
Keharusan untuk menyediakan 2 apoteker pada program TATAP diharapkan untuk tidak mensiasati adanya apoteker yang kerja rangkap di instansi pemerintah (PNS atau ABRI). Idealnya, baik apoteker PNS. ABRI maupun apoteker swasta , tidak diperkenankan kerja rangkap. Masih banyak jalur lain selain dari apotek sebagai pilihan bagi apoteker, misalnya Staf pengajar, peneliti, Industri farmasi, distributor obat, PNS, ABRI, obat tradisional dan lain sebagainya yang semuanya sama baiknya dengan Apotek, disanapun apoteker dapat menjalankan profesinya sebagaimana mestinya..
Kita masih berharap banyak pada ISFI untuk mengembalikan harkat dan martabat apoteker dalam pencitraan masyarakat , kita masih berharap program TATAP yang sudah berada di pundak pengurus ISFI pusat , merupakan tugas luhur yang harus dipikul bersama-sama oleh seluruh anggotanya. Namun pertanyaan besar dan keragu-raguan masih bersemayam di dalam kalbu , apakah program TATAP dapat menggiring dan memulangkan apoteker ke kandangnya?

CERMIN DUNIA FARMASI said...

Progam TATAP yang tidak jelas menatap

Program TATAP yang sudah digulirkan oleh induk organisasi Farmasi (ISFI) sejak dicanangkan tahun 2005 yang lalu, disambut dengan antusias oleh segenap apoteker yang ingin merasakan kredibilitas Apoteker lebih bermartabat dan disegani oleh seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Para apoteker yang sejak dulu telah melaksanakan khitahnya di jalan yang benar , tentu tidak ingin menjadi objek pandangan sinis masyarakat ,yang disebabkan oleh ulah para apoteker lain yang masih belum mau kembali ke pencitraan yang benar. Masih banyak apoteker di luar sana yang belum menjalankan profesinya secara murni dan benar di apotek, padahal , pada hari dia dinobatkan sebagai abdi masyarakat, para apoteker tersebut sudah mengikrarkan lafal-lafal sumpah setia untuk tidak mengecewakan masyarakat yang akan menjadi pasangan hidupnya. Namun sumpah setia dan lafah-lafal indah itu akhirnya menjadi janji-janji kosong belaka, manakal nilai-nilai lembaran rupiah sudah menggerogoti nadi kehidupannya, manakala objekan lain memberikan nilai tambah pada pundi-pundi keuangannya, manakala apotek yang seharusnya dia asuh , hanya memberikan nilai material sebagai tambahan kocek di sakunya. Namun segelintir apoteker yang masih terseok-seok di jalan profesinya yang benar, masih tertatih-tatih menahan ketidakpercayaan masyarakat yang mengerdilkan harkat dan martabatnya. Ketidakpercayaan masyarakat yang melecehkan profesi apoteker sudah tidak pandang bulu lagi sehingga segelintir apoteker yang tidak ikut berbuat, merasakan akibatnya. Kalau kondisi ini terus dibiarkan ,maka keterpurukan apoteker semakin jauh kedalam lumpur kenistaan.
Siapakah yang peduli dan mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada apoteker? Apakah pemerintah dapat diharapkan?, Apakah kesadaran dan hati nurani para apoteker yang belum sadar itu, bisa kembali kejalan yang benar dengan ihklas? Atau semuanya terpulang kepada masing-masing pribadi apoteker? Apakah kita dapat berharap banyak kepada organisasi ISFI untuk memperjuangkan hak-hak segelintir apoteker yang selama ini tertindas oleh ulah para oknum apotreker lainnya yang sudah lupa akan tanggung jawabnya?
Jauh sebelum program TATAP diikrarkan oleh ISFI tahun 2005, sudah ada peraturan pemerintah yang berkekuatan hukum untuk mengatur kinerja Apoteker di Apotek . Kalau kita merujuk ke Permenkes No. 922\MENKES\PER\X\1993 pasal 19, berbunyi ;
1) Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, APA dapat menunjuk Apoteker Pendamping. 2) Apabila APA dan Apt Pendamping berhalangan melakukan tugasnya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti. Jelas tidak ada alasan bagi apoteker untuk meninggalkan tugas pokoknya di apotek, apapun alasannya.
Kalau kita merujuk lagi pada Undang-undang kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 50, pasal 54 dan pasal 63, maka tidak ada alasan bagi apoteker untuk mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada Asisten jika apoteker berhalangan hadir pada jam buka Apotek.
Tetapi entah kenapa , peratuan dan ketentuan yang berlaku tersebut tidak dapat dilaksanakan dan diterapkan kepada apotek-apotek yang melanggarnya. Ketidak hadiran apoteker di apotek pada jam buka masih tetap tinggi . Di propinsi DKI saja , yang menjadi barometer pelaksanaan peraturan tersebut, justru memperlihatkan hasil yang sangat mengecewakan, 95% apoteker tidak hadir pada jam buka apotek (menurut hasil survey mahasiswa UI lihat disini..). Jadi perlu dipertanyakan , sejauhmana kontrol pemerintah terhadap kenerja apoteker di apotek ?, kenapa pemerintah (dalam hal ini Dinas Kesehatan Propinsi atau BPOM setempat) tidak mampu memberikan tindakan yang semestinya kepada apotek-apotek yang melanggar ketentuan tersebut ?, apakah aparat yang berwenang tidak mengetahui atau seakan tidak peduli dengan kondisi tersebut? Apakah aparat tersebut juga merangkap sebagai apoteker di apotek yang dia kelola, sehingga fungsi pengawasan tidak berjalan dengan efektif?.
Tentu perlu pula dipertanyakan, kenapa para apoteker jarang hadir pada jam buka apotek? Tentu banyak alasannya, antara lain adalah ;
- Salary apoteker di apotek tersebut terlalu kecil sehingga tidak mampu menopang kebutuhan hidup yang layak.
- Tugas-tugas pokok di apotek merupakan rutinitas yang ringan jadi dapat di laksanakan oleh Asisten .
- Apoteker mempunyai tugas pokok di instansi lain yang tidak bisa ditinggalkan , sehingga apoteker bekerja paroh-waktu di apotek .
- PSA (pemilik sarana apotek) tidak sanggup mengeluarkan biaya tambahan untuk mebayar apoteker pendamping, sehingga ketidakhadiran apoteker tidak terelakkan.
- Asisten yang berpengalaman sudah dianggap mampu menggantikan semua tugas-tugas apoteker di apotek.
Apoteker berdalih bahwa, peralihan PP Nomor 26 Tahun 1965 kepada PP Nomor 25 Tahun 1980 tentang peralihan pengelolaan apotek dari badan usaha ke sarjana farmasi, tidak diimbangi dengan kaidah-kaidah lain yang dibutuhkan apoteker, seperti dengan pemberian reward yang memadai. Alasan tersebut tentu dianggap sangat kuat bagi apoteker tersebut untuk meninggalkan pos nya di Apotek, bahkan alasan ini dijadikan jurus ampuh agar penegak hukum di DEPKES lebih toleran terhadap para apoteker yang melanggar tersebut. Sebenarnya apoteker sudah melanggar hukum, tetapi hukum tersebut terpaksa dilanggar.
Hal ini bisa juga disebabkan oleh apoteker yang berasal dari jajaran DEPKES atau BPOM banyak yang bekerja rangkap sebagai APA di wilayah kerjanya. Aparatur yang bekerja di jajaran DEPKES baik di Dinas Kesehatan maupun di BPOM di beri kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pemberian izin Apotik. Jadi bagaimana mungkin seorang aparatur pengawas yang berperan ganda , dapat bersikap adil dalam melaksanakan kewenangannya. Ibaratnya seorang wasit juga sebagai pemain. Reformasi hukum di jajaran DEPKES belum berjalan seperti yang berlaku dalam reformasi politik di Indonesia ( seperti ; ketentuan dimana PNS tidak bisa merangkap sebagai aktifis partai).
Dari sudut pandang sosiologis, ketidakpatuhan apoteker terhadap ketentuan pengelolaan apotek, merupakan kegagalan norma hukum di dalam perilaku penegak hukum dan masyarakat , sehingga hukum tidak dapat memenuhi nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Sepertinya pemerintah dinilai gagal melaksanakan amanat penegakkan hukum , khususnya dibidang pengawasan pengelolaan apotek.
Pada saat kongres ISFI tahun 2005, pemerintah dalam hal ini kepala BPOM (Dr.Sampurno, Apt.MBA) mengajak ISFI bekerja sama untuk melakukan pemurnian fungsi apoteker. Gayung bersambut, ketua terpilih ( Prof. DR Haryanto Dhanutirto, DEA, Apt) berdasarkan keputasan kongres , menetapkan TATAP(Tiada Apoteker Tiada Pelayanan), sebagai program unggulan yang sesegera mungkin untuk dilaksanakan (seperti dalam pidatonya saat pelantikan “Profesi Apoteker harus kita tegakkan kembali, karena itu ISFI harus bergerak cepat. Mulai tahun 2007 kita inginkan Apoteker wajib berada di Apotek sejak buka hingga tutup. Karena itu minimal harus ada dua orang Apoteker jika Apotek buka dari jam 8 pagi hingga jam 9 malam. Dan tidak ada pengecualian bagi Apoteker Pegawai Negeri Sipil atau anggota ABRI." ).
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dalam program TATAP untuk mengembalikan fungsi apoteker di apotek karena sampai tahun 2008 ini, belum ada produk hukum yang dilahirkan ISFI yang mampu mewajibkan anggotanya hadir setiap saat di Apotek, kekuatan TATAP baru terlihat pada saat anggota mengurus surat rekomendasi , sebagai salah satu persyaratan dalam permohonan surat izin apotek (SIA).
Sampai saat ini program TATAP masih berupa gerakan moral atau shockterapi agar setiap anggota dapat melaksanakan profesinya di jalan yang benar.
Program TATAP yang mewajibkan apoteker minimal 2 orang di satu Apotek mendapat banyak tantangan terutama dari kalangan praktisan hukum , seperti PERDA di masing-masing daerah yang tidak sejalan dengan aturan main dalam progam TATAP. Kewajiban untuk menyiapkan 2 apoteker dalam pengurusan SIA bagi apotek baru, juga tidak jelas dasar hukumnya.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotek Rakyat yang telah diresmikan oleh mentri kesehatan pada tanggal 3 april 2007 yang lalu, sepertinya Program TATAP tidak sesuai dengan aturan main pemerintah. Buktinya , setiap 4 apotek rakyat dapat dikelola oleh satu apoteker , seperti yang terjadi DKI (pasar Pramuka). Sepertinya program TATAP dan program pemerintah berjalan sendiri-sendiri, tidak terlihat adanya koordinaasi yang sinergi. Perlu pula dipertanyakan , bagaimana sikap ISFI terhadap permenkes tersebut?
Keharusan untuk menyediakan 2 apoteker pada program TATAP diharapkan untuk tidak mensiasati adanya apoteker yang kerja rangkap di instansi pemerintah (PNS atau ABRI). Idealnya, baik apoteker PNS. ABRI maupun apoteker swasta , tidak diperkenankan kerja rangkap. Masih banyak jalur lain selain dari apotek sebagai pilihan bagi apoteker, misalnya Staf pengajar, peneliti, Industri farmasi, distributor obat, PNS, ABRI, obat tradisional dan lain sebagainya yang semuanya sama baiknya dengan Apotek, disanapun apoteker dapat menjalankan profesinya sebagaimana mestinya..
Kita masih berharap banyak pada ISFI untuk mengembalikan harkat dan martabat apoteker dalam pencitraan masyarakat , kita masih berharap program TATAP yang sudah berada di pundak pengurus ISFI pusat , merupakan tugas luhur yang harus dipikul bersama-sama oleh seluruh anggotanya. Namun pertanyaan besar dan keragu-raguan masih bersemayam di dalam kalbu , apakah program TATAP dapat menggiring dan memulangkan apoteker ke kandangnya?