Monday 20 October 2008

ANTARA RESEP CODEIN & SERTIFIKAT KOMPETENSI

Beberapa tahun yang lalu apotek saya mendapatkan resep Codein tab 10 mg sejumlah 20 tab dan saya putuskan tidak saya layani karena saya anggap tidak rasional …pasien bertanya kenapa ?
akhirnya saya jelaskan bahwa resep tersebut tidak rasional karena tidak diikuti oleh resep lain yang berkaitan dengan penyakit yang diderita pasien tersebut ..
Usut punya usut ternyata si pasien tersebut sudah mendapat beberapa obat lain Antibiotik, Obat analgesic antipiretik, vitamin dll di tempat praktek dokter, karena pasien membutuhkan obat penekan batuk kuat (gol narkotika) maka si dokter tersebut menuliskan resep codein saja…
Bag tanggapan sejawat ?

Kemarin saya mendapatkan resep yang serupa …
seorang ibu yang menebus resep yang berisi codein 10 mg sejumlah 30 tab ?
Kali ini dengan dokter yang berbeda …
Kemudian saya panggil pasiennya ...saya tanya yang sakit siapa? sakitnya apa? alamatnya di mana? apa sudah diberi obat lain selain obat yang ditebus diatas ?
Ternyata ... apa jawabannya ....
Si pasien menjawab yang sakit ibu saya, saya seorang dokter yang bertugas di puskesmas xyz kebetulan kehabisan obat tsb... obat lainnya sudah ada namun karena kehabisan codein di puskesmas terpaksa saya tebuskan di apotek....

Untuk meyakinkan kami Si dokter tersebut mengeluarkan kartu identitasnya yang dikeluarkan oleh konsil Kedokteran Indonesia (KKI) bukan ketua Umum Ikatan dokter Indonesia (IDI) yang menyatakan bahwa pemegang kartu tersebut adalah seorang dokter/dokter gigi ...
Akhirnya kami berkenalan dengan dokter tersebut tidak ada masalah dalam komunikasi kami ...
Dan obat tersebut kami layani dan si dokter tersebut akhirnya membeli suplemen, dan beberapa produk obat bebas lainnya di apotek kami.

Ada hal menarik yang dapat kita ambil dari kasus tersebut ...
1. Ternyata prasangka kita belum tentu seburuk yang kita pikirkan dan kita harus bersikap & berpikir positif terhadap siapapun yang datang ke apotek kita.
2. Ternyata di profesi lain IDI sudah jauh lebih bagus dalam menata kompetensi anggotanya dan sudah mempunyai Konsil Kedokteran Indonesia sebagai penyelenggara uji kompetensi yang lebih independen bukan Perguruan Tinggi dan dilindungi oleh UU
3. waktu saya taanyakan bagaimana cara mendapat kartu tersebut ? Untuk mendapatkan kartu yang diluarkan KKI mereka hanya mengirimkan berkas administrasi saja (ijazah, sumpah dokter, surat pengantar lewat IDI cabang dll) dengan membaya biayar registrasi Rp. 250 rb saja cukup murah dan tidak terlalu membebani bagi seorang dokter dan masa berlakunya selama 5 tahun.
4. Selanjutnya tidak ada biaya lainnya tinggal menunggu uji kompetensi setelah kartu yang bersangkutan habis masanya dan disertai dengan ketentuan harus mengikuti seminar, pelatihan yang harus memenuhi berapa SKP yang harus dipenuhi dan dilampirkan.

Mungkin ada yang bisa berkomentar tentang hal ini ...

1 comment:

Rosma Alfaris said...

saya cuma bisa berkomentar bahwa saya bisa menilai IDI sudah sangat menghargai anggota2nya tanpa harus ada uji sana uji sini. tidak seperti apoteker yang harus izin sana izin sini.
terus kalo memang ISFI mau menghargai teman2 apoteker semua pasti juga bisa memberikan yang terbaik untuk para Apoteker apoteker indonesia.

cuma satu yang bisa saya tekankan bahwa apoteker indonesia itu sebenarnya kurang peduli dengan perkembangan farmasi indonesia, yah kalo dibiilang sih lebih banyak yang memikirkan diri sendiri aja tanpa memikirkan apa yang akan terjadi kemudian....

itu aja yang bisa saya komentari

terima kasih